Pekerjaan Rumah Sektor Energi Jokowi Periode II, Utamanya Revisi UU Migas

Merdeka.com - Direktur Riset Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Berly Martawardaya, mengatakan salah satu fokus Pemerintahan Joko Widodo-Ma'ruf Amin yakni menggenjot kinerja sektor manufaktur. Hal ini dia sampaikan dalam pidato pelantikan presiden di hari pelantikan, Minggu (20/10).
"Visi Presiden Jokowi di periode kedua sebenarnya satu, make manufacture great again. Memang dengan sektor manufaktur bisa menyerap tenaga kerja dan bisa menghasilkan produk-produk yang diekspor. Sehingga Rupiah kita bisa lebih stabil," kata dia, dalam diskusi, di Jakarta, Senin (21/10).
Terkait fokus tersebut dia menegaskan pentingnya ketahanan energi. Sebab, pasokan energi penting dalam pengembangan manufaktur. "Untuk sektor sektor manufaktur ini bisa berkembang pasti perlu energi. Kemarin jalan (infrastruktur) sudah dibikin, sekarang energinya. Jangan sampai demand-nya terus meningkat tapi supplay terus menurun," tegas dia.
Untuk membenahi energi, lanjut Berly, terdapat sejumlah pekerjaan rumah alias PR yang harus dikerjakan Jokowi-Amin. Salah satunya basis hukum yang kuat. "Mungkin belum diselesaikan, PR untuk UU Migas revisi. Karena yang sudah dibatalkan di MK tahun 2004, 15 tahun belum kuat dasar penggantinya masih berupa Perpres atau PP. Ini harus jadi prioritas ke depan buat revisi UU Migas," ungkapnya.
Kepastian hukum dapat memberikan jaminan bagi investor yang mau menanamkan modal di sektor hulu migas. Berkaca dari negara-negara tetangga, yang dapat menarik investasi, meskipun saat ini minyak dunia menurun harganya.
"Kita lihat di Thailand, Vietnam itu meningkat bahkan India pun naik. Dalam kondisi turun pun negara lain pun bisa memperbaiki atau bisa menarik investor. Saya kira balik ke konsisten, kredibilitas, kepastian hukum yang perlu kita tingkatkan," ujar dia.
Dengan begitu, Indonesia dapat mengambil keuntungan atau memanfaatkan pola naiknya investasi setelah pilpres. "Polanya begitu polanya pilpres plus 1 (tahun) itu ada kenaikan sekitar 20 persen FDI secara umum," jelas Berly.
PR lain yang harus dibenahi Pemerintah, lanjut Berry, terkait defisit neraca perdagangan dari sektor migas. Hal ini disebabkan konsumsi bahan bakar fosil yang meningkat tidak diimbangi dengan produksi dalam negeri. Kekurangan pasokan tersebut kemudian harus dipenuhi dengan impor migas.
Berdasarkan data yang dia himpun terjadi peningkatan signifikan jumlah kendaraan sejak tahun 1998. Pada 1998 jumlah motor sekitar 15 juta, sekarang menjadi 110 juta. Sementara mobil dari sekitar 7-8 juta di tahun 1998, naik menjadi 22 juta.
Karena itu, untuk menekan impor migas, Berly mendorong pemerintah untuk mulai menekan konsumsi bahan bakar fosil oleh masyarakat. Di saat yang sama mendorong pemanfaatan energi baru terbarukan. "Demand masyarakat terhadap Migas yang dikurangi, lebih banyak pakai yang renewable," ucap dia.
Langkah lain untuk menekan konsumsi bahan bakar fosil, lanjut Berly yakni dengan mendorong pemanfaatan angkutan massal di 5 daerah urban terbesar, yakni Jabodetabepok, Surabaya, Medan, Bandung, Makassar. Sebab penggunaan angkutan massal dapat menekan penggunaan angkutan pribadi.
Pemerintah, tambah dia, juga harus mendorong penggunaan kendaraan listrik di Indonesia. Dukungan dapat ditunjukkan dengan pemberian insentif fiskal sehingga mendorong investasi di sektor produksi mobil listrik juga mendorong harga mobil listrik yang dapat dijangkau masyarakat.
Pembangunan PLTU Batubara juga perlu dipikirkan kembali. Selain membutuhkan biaya investasi yang tinggi, PLTU juga menyumbang polusi udara. Sebaliknya Pemerintah perlu mendukung pengembangan pembangkit listrik berbasis energi baru terbarukan.
"Yang paling memengaruhi buat CO2 kan PLT Batubara. Kita khawatir karena hitung-hitungan dalam 5 sampai 7 tahun ke depan PLT solar panel sudah bisa lebih murah dari pada diesel. Dari saya sendiri ingin batu bara ditunda dulu lah. Karena toh trennya akan turun. Karena satu selain spending lebih banyak, kedua polusi," tandasnya.
Sumber:Merdeka.com
Share:

Recent Posts